Para politikus kita terkenal akan keterbukaannya, khususnya mengenai wilayah antara hidung dan dagu mereka. Seperti telah menjadi tradisi berabad-abad, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh pepatah dari cerita Jataka berikut ini.
Dahulu kala, seorang raja telah dibuat jengkel oleh salah seorang menterinya . Kapanpun diadakan rapat untuk membahas sesuatu dalam sidang, menteri itu akan menyela dan mulai berpidato yang tampaknya akan berlangsung selamanya. Tak seorang pun, bahkan sang raja sendiri, berkesempatan untuk mengatakan sesuatu. Lebih-lebih, apa yang dikatakan oleh si menteri jauh tidak menarik ketimbang isi sebutir bola pingpong.
Setelah suatu rapat lain yang juga tidak menghasilkan keputusan apa pun, sang raja mencari kedamaian di tamannya, menjauhi kefrustrasian politik. Dibagian taman yang terbuka untuk umum, sang raja menyaksikan sekelompok anak-anak yang riang gembira mengerumuni seorang lelaki paruh baya, seorang lelaki cacat yang duduk di tanah. Anak-anak itu memberikan si lelaki beberapa keping uang logam, menunjuk ke sebuah pohon kecil dan meminta ayam kepadanya. Lelaki itu lalu mengeluarkan sebuah tas penuh kerikil dan sebuah tulupan (sumpitan), lalu mulai menembakkan kerikil ke arah pohon itu.
Dia menembak jatuh daun demi daun pohon kecil itu dengan tembakan beruntun dari tulupannya. Dengan ketepatan yang sempurna, dia memangkas pohon itu menjadi seperti bentuk seekor ayam jantan. Anak-anak itu lalu memberikan uang yang lebih banyak lagi, menunjuk ke arah sebuah semak besar dan meminta seekor gajah. Segera si penembak jitu yang cacat itu dengan tulupannya, memahat semak besar itu menjadi berbentuk seekor gajah. Ketika anak-anak itu bertepuk tangan dengan riuh, sang raja mendapatkan sebuah gagasan.
Lalu sang raja pergi menghampiri si lelaki cacat itu dan menawarkan kekayaan berlimpah ruah kepadanya, jika dia bersedia membantu sang raja membereskan sebuah masalah yang sepele tapi menjengkelkan. Sang raja membisikkan sesuatu ke telinga lelaki itu. Lelaki itu mengangguk-angguk setuju dan sang raja tersenyum untuk pertama kalinya dalam minggu itu.
Pagi berikutnya, sidang berlangsung sebagaimana biasanya. Tak seorang pun memerhatikan kehadiran sebuah tirai baru yang dipasang pada salah satu sisi tembok. Saat itu sidang akan membahas mengenai usulan kenaikan pajak. Tak berapa lama setelah raja mengumumkan agenda sidang, si menteri superbawel memulai celotehannya.
Ketika ia membuka mulutnya, dia merasakan ada sesuatu yang kecil dan lembut mengenai bagian dalam tenggorokannya dan meluncur turun ke dalam perutnya. Dia tetap melanjutkan ocehannya. Benerapa detik kemudian, sesuatu yang kecil dan lembut kembali masuk ke dalam mulutnya. Dia menelannya dan karena itu ocehannya menjadi agak tersendat, tetapi dia terus maju pantang mundur.
Lagi dan lagi dia harus menelan sesuatu itu selama dia berbicara, tetapi sesuatu itu masih saja tak membuatnya berhenti bicara. Setelah setengah jam berpidato dengan penuh semangat dan menelan sesuatu itu setiap beberapa detiknya, dia merasa amat sangat mual. Tetapi, sikap kepala batunya tidak membuat dia menghentikan pidatonya.
Setelah beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat bersemu kehijauan, perutnya terasa mual, dan akhirnya dia terpaksa menghentikan ocehannya. Dengan sebuah tangan memegangi perutnya yang sakit dan tangan yang lain menutupi mulutnya untuk mencegah sesuatu yang menjijikkan keluar dari sana, dengan panik ia bergegas mencari kamar mandi terdekat.
Dengan gembira raja menghampiri tirai dan menyibaknya untuk berterima kasih kepada pria cacat itu, yang sebelumnya memang bersembunyi di balik titai tersebut bersama dengan tulupan dan sekantong amunisinya. Sang raja tak dapat lagi menahan tawanya begitu melihat sekantong besar amunisi yang sudah hampir habis, peluru-peluru tahi ayam yang telah ditembakkan ke mulut si menteri dan berhasil menimbulkan kerusakan parah terhadap menteri malang itu.
Si menteri tidak dapat menghadiri sidang selama beberapa minggu. Sungguh mengesankan, betapa banyak urusan dapat diselesaikan selama ketidakhadirannya. Lalu ketika dia kembali menghadiri sidang, dia menjadi pendiam sekali. Dan jika dia terpaksa harus berbicara, dia akan selalu melindungi mulutnya dengan telapak tangannya.
Barangkali di parlemen kita dewasa ini, kehadiran penembak jitu seperti pria itu akan sangat berguna!
*)Tulisan ini disadur dari buku 'Cacing dan Kotoran Kesayangannya 1'
Komentar
Posting Komentar