Setiap manusia mempunyai sesuatu yang ingin dicapainya sepenuh hati bahkan mungkin sampai mati. Entah itu kekuasaan, keluarga, harta, ataupun cinta.
Suatu ketika, seseorang yang sangat saya sayangi datang dan bercerita. Ia ingin mencapai nirwana. Layaknya seorang biksu yang menyadari bahwa hidup ini adalah kosong dan ujung tertinggi adalah nirwana, ia berkata dengan terbata "Saya ingin mencapainya."Lalu ia bertanya pada saya,"Bagaimana jika saya meninggalkan keluarga?". Hening.. Saya terdiam, mengeja tanyanya kata demi kata dalam hati. Bagi saya dan baginya, keluarga adalah segalanya. Saya bertanya kembali padanya.. "Apakah engkau harus memilih diantara nirwana atau keluarga?" Dengan lirih ia menjawab, "Ya, karena tidak mungkin ada yang lain untuk mencapai nirwana. Kepasrahan ini harus total tanpa ingin."
Ehmm.. Saya jadi ingat cerita nabi Ibrahim AS. Ia diminta mengorbankan Ismail yang paling dicintainya. Ketika itu ia ragu, namun keyakinan Ismail menguatkannya. Dan nyatanya mimpi itu hanya ujian bagi sang nabi. Andaikan iman saya sekuat Ismail mungkin saya sudah menjawabnya dan meyakinkannya. Aah, saya hanya manusia biasa, saya memintanya untuk benar-benar memikirkan inginnya. Saya mendengarkan satu demi satu kecemasannya. Ia tahu jawabannya. Ia sendiri tidak yakin, namun saya tidak menjawabnya. Saya hanya mendengarkannya bicara dan bertanya balik mengenai rencananya yang ia tahu betul kemana.
Ketika kita dipersimpangan jalan dengan dua pilihan yang sama beratnya, kita tidak bisa terburu-buru memilih. Kadang kita hanya perlu terdiam sejenak, bukan karena menunda keputusan namun terdiam untuk bisa melihat beningnya jawaban. Berkaca dalam diri.. mengosongkan pikiran dan membersihkan nafsu. Dan ketika segalanya tenang, jawaban atas pilihan itu datang, terlepas dari rasa suka atau tidak suka. Pertanyaannya adalah, siapkah kita menerimanya?
090216.. ketika bumi memeluk hujan.
Komentar
Posting Komentar