Saya suka berdiskusi dengan ayah saya mengenai hal-hal yang sederhana namun dalam. Beberapa waktu yang lalu sempat ngobrol ringan dan akhirnya membahas bagaimana seorang yang beriman memandang sesuatu. Kita semua tahu bahwa kalau lapar ya makan, kalau haus ya minum, kalau ngantuk ya tidur, dan kalau-kalau yang lain dengan jawaban yang nampaknya sangat masuk akal dan manusiawi. Mari kita kaji lebih dalam beberapa rasa misalnya; lapar, haus, ngantuk. Sebenarnya siapa yang merasa lapar, haus, ngantuk tersebut? Darimana rasa itu berasal dan bagaimana seharusnya menghilangkan rasa tersebut? Orang-orang yang beriman dalam kacamata pikiran dan rasa selalu mendasarkan hulu dan hilir segala sesuatu adalah Tuhan. Dalam Islam misalnya, kita diajarkan sebelum memulai segala sesuatu dengan mengucap bismillahirrahmanirrahiim. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hulu adalah Allah, adalah Tuhan, adalah Dzat yang kita sembah. Dan banyak surat menyebutkan "..hanya kepada Tuhanmu lah engkau kembali." yang dapat kita artikan bahwa hilir adalah Ia. Jika sudah meyakini demikian maka secara sederhana dapat kita nyatakan bahwa segala rasa seperti lapar, haus, ngantuk adalah dariNya (hulu) dan akan kembali kepadaNya (hilir). Ia lah sebenarnya yang menimbulkan dan menghilangkan rasa tersebut.
Di masa lalu banyak orang bertapa sampai berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tapa yang saya ketahui hakikatnya adalah menyatukan rasa dengan rasa Ilahi dimana sang petapa benar-benar meyakini bahwa hakikat segalanya adalah Ia. Mereka berpuasa rasa. Rasa lapar, haus, ngantuk hilang dengan sendirinya tanpa makan, minum, dan tidur. Logika pasti memprotes bagaimana bisa petapa-petapa itu tidak mati? Mungkin karena kita belum benar-benar meyakini bahwa hakikat segalanya adalah Ia sehingga pemenuhan rasa yang bisa didapatkan dengan sendirinya tidaklah mungkin bisa kita pahami. Beda halnya dengan mereka yang sudah sampai kepadaNya benar-benar meyakini bahwa hakikat segalanya adalah Ia.
Jika kita pelajari jauh lebih dalam tentang tauhid, Tiada Tuhan selain Allah, maka harusnya yang ada hanyalah Ia. Sampaikah kita pada keyakinan bahwa Ia lah yang menimbulkan dan menghilangkan rasa lapar, haus, ngantuk bukan makanan, minuman, tidur? Dapatkah kita memahami perbedaan antara media yang biasa disebut syariat dan dalang yang memainkan rasa? Kita dapat bertanya juga tentang hakikat rasa yang lain. Apakah uang yang membuat kita merasa kaya sehingga kita jauh lebih memujanya daripada Ia? Apakah pasangan yang membuat kita merasa sempurna sehingga kita jauh lebih mencintainya daripada yang menciptakan adanya? Jika ya, mungkin kita belum benar-benar beriman, belum benar-benar mengesakan Ia. Jangan berhenti hanya pada pemahaman media manusiawi atau syariat, teruslah sampai kepada hilirnya, hakikat segalanya :)
Komentar
Posting Komentar