Horeee nanjak juga untuk pertama kalinya. Tadinya milih Gede yang dekat tapi karena lagi ada barengan nanjak jadi ke Prau Dieng dengan ketinggian 2565 mdpl. Treknya curam. Walaupun cuma makan waktu sekitar 3 jam, treknya sudah bisa buat paha, lutut, dan betis pegel-pegel. Sempat ditanya teman filosofi nanjak itu apa. Aku jawab gak tahu mau coba aja karena belum pernah. Setelah sampai puncak, agak bingung sebenarnya kenapa orang-orang mau nanjak susah-susah dan makan seadanya demi pemandangan dari atas gunung. Tapi alhamdulillah waktu kesana gak hujan dan dapat sunrise cantik di puncak dengan latar 2 gunung, Sumbing Sindoro dan lautan awan Dieng.
Ada perbedaan yang jelas antara orang yang bisa nanjak dengan riang gembira dan yang susah payah hampir pingsan. Menurut aku semua itu terjadi di pencipaan pertama atau gambaran mental. Maksudnya adalah apakah kita berpikir positif atau gak untuk bisa sampai ke puncak karena pemikiran kecil tersebut bisa sangat mempengaruhi kondisi badan kita. Aku gak percaya dengan pemikiran 'ya emang dari sananya dia mah kuat dan aku lemah'. Prau ini dingin banget tapi juga sebagian orang masih santai aja gak pakai sarung tangan atau kaos kaki. Sementara aku? Jaket lengkap dengan kupluk, sarung tangan double, kaos kaki dan sepatu. Kalau dipikir ya, dulu jaman sekolah dan kuliah saat ospek atau ldks juga biasanya persiapan seadanya dan kuat-kuat aja walaupun pernah sampai menggigil. Mungkin karena dari awal sudah diingatkan teman akan bahayanya hipotermia, sugesti deh kalau Prau itu dingin banget dan aku gak kuat dingin. Padahal orang di depan mata bisa leluasa gak pakai pakaian hangat lengkap dan baik-baik aja.
Aku belajar dari nanjak kalau kita gak pernah boleh mikir macam-macam, jalanin aja walau berat. Kita harus tahu mau kemana dan yakin pasti bisa sampai kesana. Membantu teman bukan dengan ada di belakangnya tapi dengan ada di depannya hingga dia juga bergerak ke depan bukan diam di tempat atau malah mundur ke belakang. Bahagia pastinya bisa sampai puncak tapi apa artinya kalau sendirian karena hubungan manusia selalu lebih hangat daripada hangatnya mentari pagi di puncak tujuan. Dan kamu tahu, bukan puncak yang menjadi tujuan sebenarnya melainkan rumah, asal darimana kita datang dan satu-satunya tempat untuk kembali, tempat dimana keindahan dan kehangatan selalu ada. Akhirnya, setiap perjalanan menjadi pelajaran untuk mendewasa dan lebih bijak untuk melihat dari berbagai sisi :)
Komentar
Posting Komentar