Haha. Kalau lucu tertawa dulu. Tertawa ternyata dapat menyebabkan masalah. Tertawa di waktu yang tidak tepat atau atas sesuatu yang tidak tepat, misalnya tertawa di saat seseorang sedang marah. Hal itu akan membuat sang pemarah semakin geram. Jika seseorang dimarahi, reaksi pertamanya harusnya takut, menyesal, cemberut,dll. Ketika reaksi yang dimarahi tidak negatif maka sang pemarah merasa bahwa marahnya tidak berhasil dan membuat ia semakin marah.
Nyatanya tertawa bisa mengurangi rasa sakit. Reaksi tertawa berhubungan dengan hormon endorfin. Hormon ini adalah hormon yang menyebabkan rasa bahagia. Tertawa sangat bisa menahan tangis atau sakit. Atasan saya pernah tersenyum ketika dimarahi sang direktur utama karena ia menahan tangis. Namun, sang direktur jadi semakin marah.
Ada orang yang mudah sekali tertawa. Hal-hal kecil saja bisa membuatnya tersenyum dan tertawa. Ada juga orang yang sulit sekali tertawa. Ketika semua orang tertawa terbahak-bahak, ia pura-pura tertawa dan berpikir "lucu ya!?". Ada juga yang diantara keduanya. Sifat ini tergantung pada ambang batas lucu masing-masing orang. Anak-anak pada umumnya mempunyai ambang batas yang rendah sehingga mereka mudah sekali tertawa. Bahkan mereka tertawa hanya dengan kata "cilukba". Coba bayangkan jika kita berkata "cilukba" ke orang dewasa. Aneh bukan? Semakin dewasa, entah kenapa ambang batas itu pun semakin meningkat.
Saya sering menceritakan sesuatu yang konyol sampai saya tertawa terpingkal-pingkal dan hanya ditanggapi "lucu ya!?" oleh adik saya. Akhirnya saya tertawa sendiri saja. Haha! Suatu ketika, teman saya menceritakan masalahnya. Baginya pasti masalahnya tidak sederhana dan berat. Respon pertama saya ketika selesai mendengarkannya adalah "lucu ya". Ia kesal sekali dan tidak melanjutkan ceritanya. "Lucu ya!?", ia beranggapan bahwa saya tidak peduli. Duhh, saya harus belajar lebih berempati dan melihat situasi.
Bagi setiap orang yang menceritakan masalahnya, masalah tersebut adalah penting dan bukan "oh gitu doang". Mendengarkan dan berempati memang saling berpasangan sehingga yang diminta pencerita bukan hanya kita mendengarkannya, tetapi juga kita berempati terhadapnya. Paradigma yang kita pakai saat mendengarkannya adalah paradigmanya bukan paradigma kita. Ambang batas lucu kita juga harusnya disesuaikan.
Lucu itu tidak universal dan tidak mutlak. Lucu itu relatif. Sah-sah saja jika kita menganggap sesuatu itu lucu, tapi menurut mereka tidak lucu, atau sebaliknya. Jika kamu ingin menang stand up komedi, kamu harus bisa mencapai ambang batas lucu pendengarmu. Haha!
Selamat hari Jumat :D
Komentar
Posting Komentar