Saya mengenal Al-Hikam di bulan April 2016 dari teman saya yang pernah mondok. Menurut ayah teman saya ini, dengan memahami Al-Hikam saja kita dapat hidup tentram. Buku yang ia punya menggunakan bahasa yang berat dan sulit dipahami. Saya cari versi lain yang ringan dan menemukan versi Muhaji Fikriono. Sebagai tambahan, penulis buku ini juga menulis buku ‘Puncak Makrifat Jawa’ yang menjadi salah satu buku favorit saya sepanjang masa.
Buku Al-Hikam ini berisi 30 bab. Masing-masing bab menjadi anak tangga yang saling terkait dan membentuk kesatuan pemahaman yang utuh. Penulis membahas setiap mutiara hikmah dengan ringan dan sangat personal. Saya jadi lebih mudah memahami ketika membaca uraian pemahaman penulis. Di awal buku, penulis menceritakan bagaimana ia mengenal Al-Hikam dan menginternalisasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Bab pertama berjudul ’Di Tepian Upaya dan Pasrah’. Bahasan ini berkaitan dengan takdir Tuhan. Takdir seakan memberi batas akan apa-apa yang bisa kita usahakan dan tidak. Tidak jarang ketika kita sangat mengusahakan sesuatu dan tidak mendapatkannya kita sangat kecewa dan mengambinghitamkan takdir. Jika dikaitkan dengan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka tidak lah dapat diterima logika untuk mengambinghitamkan takdir karena takdirNya sudah pasti selalu baik bagi kita.
PermohonanMu kepada Allah merupakan bentuk kecurigaanmu terhadapNya, khawatir jika tidak dilimpahi anugerah. Sedangkan permohonanmu untukNya karena ketidakpahamanmu atasNya. Dan permintaanmu kepada selainNya disebabkan oleh sedikitnya rasa malumu kepadaNya. Adapun permintaanMu dari selainNya adalah sebagai bukti bahwa keberadaanmu sungguh-sungguh telah jauh dariNya.
Astaghfirullah, ketika saya baca ini saya pun merasa begitu bodoh. Bagaimana mungkin saya tidak berbaik sangka kepadaNya sehingga saya meminta dan merengek kepadaNya agar Ia beri? Bukankah Ia yang paling mengetahui keadaan dan kebutuhan saya? Ketika saya berburuk sangka kepadaNya berarti saya tidak yakin akan sifatNya yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tidak yakin artinya tidak percaya dan jika tidak percaya maka saya tidaklah beriman kepadaNya. Astaghfirullah!
Menyelami Al-Hikam ini membuat saya sadar bahwa apapun yang saya lakukan dan saya alami tidak terlepas dari izinNya, seperti nafas yang bisa saya hela setiap saat secara cuma-cuma dan tangan yang bisa saya gerakkan dengan sempurna untuk menulis ini. Tidak ada apapun yang harus saya kejar atau tolak mati-matian karena toh semua terjadi atas izinNya. Sungguh tidak ada yang Ia ciptakan dengan sia-sia, sekecil apapun itu. Hulu dan hilir adalah Ia. Ia tempat bermula dan labuhan terakhir. Ia yang menjadi alasan sekaligus tujuan.
Lebih baik bagimu berkawan dengan orang bodoh, tetapi tidak memperturutkan hawa nafsunya, daripada kamu berkawan dengan orang berilmu, tetapi suka mengikuti hawa nafsu. Karena manfaat ilmu macam apakah yang dapat diberikan oleh orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya? Sebaliknya, label kebodohan macam apa yang pantas ditempelkan pada orang yang senantiasa mengekang hawa nafsu?
Mutiara Al-Hikam di atas juga sangat saya ingat. Definisi pintar dan bodoh selama ini memang sepatutnya dipertanyakan. Lebih masuk akal ketika definisinya dihubungkan dengan akhlak yang dapat dilihat. Tidak lah pintar jika seseorang dengan luasnya wawasan yang ia miliki memilih sikap yang merusak ataupun merugikan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, tidak lah bodoh jika seseorang dengan sedikitnya wawasan yang ia miliki memilih sikap yang dapat membantu dan meringankan beban orang lain.
Salah satu paragraf di bagian penutup buku ini membuat saya tertegun mengeja katanya satu persatu. Saya merenung.
Maka bagi dia yang berakal segala yang kekal lebih menarik ketimbang yang fana karena telah terang cahaya hatinya dan tampak pada raut wajahnya. Oleh karena itu, ia memalingkan muka dari rumah ini dengan memejamkan mata, membelakangi. Ia enggan menetap dan terus berjalan untuk segera sampai ke dermaga Mahasuci, tempat bersimpuh, tempat menetap yang kekal. Allah.. Allah.. Hanya Allah..
Saya pun jatuh cinta kepada senandung-senandung Ibn 'Athaillah..
Bagaimana aku bisa kecewa sedangkan Kau sangat mengasihiku?
Bagaimana tidak akan menjadi baik berbagai keadaanku sedang Kau yang menyebabkan keadaan itu dan akan kembali kepadaMu?
Alangkah dekatnya Kau kepadaku dan alangkah jauhnya aku dariMu..
Tuhanku puaskanlah aku dengan aturanMu ketimbang aturanku, dengan pilihanMu untukku bukan pilihanku untuk diriku sendiri, dan hentikanlah aku di tempat dimana aku sangat membutuhkannya..
Membaca buku ini seperti membaca surat cinta. Untaian hikmah di dalamnya menyadarkan saya bahwa dalam segala sesuatu selalu ada campur tanganNya. Tuhan yang Maha Baik dan sangat penyayang kepada hamba-hambaNya :)
Komentar
Posting Komentar