Langsung ke konten utama

Perbedaan

"Kalau kamu dan pasanganmu beda pilihan di Pilkada gimana?"
  • "Gak boleh beda. Harus sama." Langsung block orang yang bertanya.
  • "Gak boleh beda. Istri harus taat pada suami. Kalau nggak, nanti dikasih sanksi, bisa sampai diceraikan."
  • "Hmm, sulit sih. Yang jelas harus logis dan objektif."
  • "Biasa aja. Ya sudah beda."
  • "Ya gak apa-apa dia milih kandidat yang lain. Yang penting dia milih gw. Haha!"
Kira-kira kamu pilih jawaban yang mana? Atau kamu punya jawaban sendiri? Pertanyaannya sama, tapi jawabannya bisa sangat jauh berbeda. Saya jadi ingat teori kecoa yang disampaikan oleh CEO Google, Sundar Pichai. 

Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dari suatu tempat dan mendarat di seorang wanita. Dia mulai berteriak ketakutan. Dengan wajah yang panik dan suara gemetar, dia mulai melompat, dengan kedua tangannya berusaha keras untuk menyingkirkan kecoa tersebut. Reaksinya menular, karena semua orang di kelompoknya juga menjadi panik. Wanita itu akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi … kecoa itu mendarat di pundak wanita lain dalam kelompok. 

Sekarang, giliran wanita lain dalam kelompok itu untuk melanjutkan drama. Seorang pelayan wanita bergegas ke depan untuk menyelamatkan mereka. Dalam sesi saling lempar tersebut, kecoa berikutnya jatuh pada pelayan wanita. Pelayan wanita berdiri kokoh, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di kemejanya. Ketika dia cukup percaya diri, ia meraih kecoa itu dengan jari-jarinya dan melemparkannya keluar dari restoran.

Masalah seperti kecoa dan cara kita bereaksi/ merespon bisa sangat berbeda. Hal ini bukan tergantung pada masalah, melainkan tergantung pada bagaimana paradigma kita dalam menyikapi masalah. 

Perbedaan pendapat bisa menjadi masalah jika tidak kita sikapi dengan bijak. Saling menghormati dan berempati sudah sepatutnya kita prioritaskan. Berselisih secara sehat, bukan jahat. Sayang sekali jika perbedaan yang ada tidak memperkaya jiwa kita, tapi memperkeruhnya. Berlomba-lombalah dalam kebaikan, bukan kebenaran. Apa yang menurut kita benar belum tentu benar-benar kebenaran dan apa yang menurut kita salah belum tentu benar-benar kesalahan. 

Berikut salah satu cerita dalam buku favorit saya, Cacing dan kotoran Kesayangannya - Ajahn Brahm. Semoga bisa membuat adem :)

Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan: “Kuek ! Kuek !”

“Dengar, itu pasti suara ayam”, kata si istri.

“Bukan, bukan. Itu suara bebek, “kata si suami.

“Nggak, aku yakin itu ayam,” si istri bersikeras.

“Mustahil. Suara ayam itu ‘kukuruyuuuuk !’, bebek itu ‘kuek ! kuek ! Itu bebek, sayang “, kata si suami mulai jengkel.

“Kuek ! kuek !” terdengar lagi.

“Nah, tuh ! Itu suara bebek, “ kata si suami.

“Bukan, sayang. Itu ayam. Aku yakin betul,” tanda si istri sembari menghentakkan kaki.

“Dengar ya ! Itu a…da…lah…. Be…bek. B-E-B-E-K. Bebek ! Mengerti ?” si suami berkata dengan gusar.

“Tapi itu ayam”, masih saja si istri bersikeras.

“Itu jelas-jelas bue..bebek, kamu…kamu….” (terdengar lagi suara “Kuek ! Kuek !” sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya.)

Si istri sudah hampir menangis, “Tapi itu ayam…. “

Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya ingat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, “Maafkan aku, sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok.”

“Terima kasih, sayang, “ kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.

“Kuek ! Kuek !”, terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.

Maksud dari cerita di atas adalah bahwa si suami akhirnya sadar, siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam indah itu. Berapa banyak hubungan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal “ayam atau bebek”?

Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita. Pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa kita itu benar, namun belakangan ternyata kita salah. Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek!  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

20. Uncle From Penang

Hollaa.. I'm already back from holiday. Liburan kemarin saya mendatangi negara tetangga dengan bahasa melayu yang kental, Malaysia! Dulu saya sempat menempatkan negara ini di daftar hitam saya sampai-sampai saya rela tidak ikut liburan bersama geng kantor jika mereka memilih Malaysia. Ternyata kali ini sahabat saya memilih Malaysia. Saya tidak bisa melewatkan liburan bersama mereka. "Malaysia, apa salahnya?" pikir saya. Akhirnya, saya berangkat menuju Kuala Lumpur. Setelah mengeksplor KL, kami terbang ke Penang. Saya tidak begitu tertarik dengan tempatnya bahkan saya belum review ada apa saja di Penang. "Yang penting pergi sama siapa, Nis", kata teman saya.  Di Penang, kami menginap di Red Inn Hotel 39. Jujur, saya belum mereview hotelnya, hanya ikut suara terbanyak. Sahabat saya berkata bahwa hotel ini terkenal bukan karena hotelnya, tapi karena pemiliknya. Jam 2 pagi kami baru sampai hotel dan sudah gelap. Kami membunyikan bel dan menunggu seseorang kelua

Alternatif Homeschooling

Hari ini hari Senin dan hari pertama anak-anak masuk sekolah. Orang tua yang mengantar melihat anak-anak mereka berbaris untuk melaksanakan upacara. Puluhan motor dan mobil parkir di depan pagar dan bangunan sekolah. Lalu lintas menjadi sangat padat hari ini. Di tengah kemacetan, saya teringat sebuah surat kepala sekolah yang sempat viral beberapa waktu lalu. "D i tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu, ada calon seniman yang tidak perlu mengerti Matematika. Ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra. Ada calon musisi yang nilai Kimia-nya tidak berarti. Ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika. Ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini." Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita memang belum efektif merumuskan ukuran untuk mengidentifikasi bakat seorang anak dan memenuhi kebutuhan pembelajarannya. Banyak lulusan yang bingu

TRIZ

Saya percaya setiap sesuatu mempunyai pola. Dalam hal penyelesaian masalah, seorang pria Rusia bernama G.S. Altshuller mempelajari berbagai paten dari seluruh dunia untuk menemukan pola penemuan baru. Ia berpikir bahwa jika kita memahami pola penemuan dari berbagai paten yang hebat dan mempelajarinya, maka semua orang bisa menjadi inventor/penemu. Dari hasil studinya, ia memperkenalkan theory of inventing problem solving yang dinamakan TRIZ (Teorija Resenija Isobretatelskih Zadac) . Saya mendengar teori ini dari seorang Coach yang menjadi rekanan perusahaan dimana saya bekerja. Langkah-langkah penyelesaian masalah dalam TRIZ adalah sebagai berikut: Mendefinisikan masalah yang kita hadapi secara spesifik Menemukan masalah umum dalam TRIZ yang sesuai Menemukan solusi umum untuk pemecahan masalah yang sesuai tersebut Menggunakan solusi umum tersebut untuk menyelesaikan masalah spesifik yang kita hadapi Kebanyakan masalah timbul karena adanya kontradiksi. Dengan menggunaka