Beberapa minggu lalu saya sempat malas nulis dan merasa begitu dangkal. Satu ketika saya mengirimkan tulisan kepada teman saya. Teman yang sudah saya anggap sebagai mentor. Ia berkata "Tulisan seperti ini jangan dikembangkan. Bisa melemahkan. Keburukan seperti juga kebaikan, itu menular." Jleb! Saya merenung.
Saya juga pernah ikut kelas pidato. Seorang madam menyampaikan presentasinya. Saya ingat sekali kata-katanya, "Kita harus selalu mempersiapkan pidato kita. Pidato itu harus bermanfaat untuk pendengarnya. Kamu tidak berdiri di depan dan berpidato hanya untuk membuang waktu orang yang mendengarkanmu." Saya kembali merenung.
Menulis seperti halnya berbicara. Selalu ada pesan untuk disampaikan. Apakah pesan saya baik atau buruk adalah tanggung jawab saya. Memang tulisan saya jauh dari kata sempurna. Namun, ketika saya yakin itu baik, saya akan menulisnya. Saya belajar memahami lebih banyak dengan menulis eperti latihan saya semalam dengan sang mentor. Tulisan 1 dan 2 adalah tulisan saya, sedangkan tulisan terakhir adalah penyempurnaannya.
Tulisan 1
Bersyukur. Rasa itu benar-benar menyelimutiku saat ini. Mengetahui bahwa mereka benar-benar memikirkanku membuatku hangat. Apalagi ketika mendengar namaku dalam doa mereka. Ah, jangan begitu baik. Aku takut tak bisa membalasnya.
Tulisan 2
Sayup-sayup kata tiap kata disebut, mengeja sebuah nama dan doa. Suara itu bergema di telingaku, mengalirkan hangat ke hatiku. Sudah lama aku tenggelam dalam sendiri dan lelah pikirku. Namun, lelah ini tiba-tiba lenyap, berganti syukur yang sangat. Syukur telah ingat kembali. Tuhan Maha Baik menghadirkan mereka yang juga baik. Aku berbisik, mengeja kembali suara itu. Sebuah nama dan doa. Aku.
Tulisan 3
Sayup-sayup kata itu, menitik satu per satu. Dalam hening mengeja satu nama dan doa. Lamat-lamat suara itu memagut telingaku. Mengalirkan hangat tembus ke dasar hatiku. Sudah lama aku tenggelam dalam kesendirian, hingga lelah pikirku hilang arah. Namun, semua ini tiba-tiba lenyap bagai asap ditelan badai. Lahir syukur begitu magis, bagai wajah sang Dewi. Dia telah menjadi pengingat kembali. Tuhan yang Mahabaik hadir begitu lekat, hingga dadaku sesak. Aku berbisik, mengeja kembali suara itu. Sebuah nama dan doa. Aku.
Komentar
Posting Komentar