Hampir setiap tahun hari Kartini diperingati dengan pakaian adat dan berbagai lomba. Saya lebih tertarik membahas bagaimana kita bisa terus menghidupkan semangatnya. Kartini identik dengan emansipasi. Emansipasi wanita mempunyai titik hitam dan putih dalam kacamata saya. Titik hitam adalah ketika ekstrimis mengagung-agungkan wanita sebagai puncak paling tinggi atas kesetaraan hak dan kewajiban. Maka, jangan heran jika suatu negara dapat dipimpin oleh seorang wanita atau bahkan sebuah keluarga dinafkahi oleh seorang istri. Sedangkan, titik putih adalah ketika wanita benar-benar memahami kodratnya.
Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, bukan dari kepala untuk jadi atasannya, bukan dari kaki untuk dijadikan alasnya, Melainkan dari sisinya untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk dicintai.
Indah, bukan? Hak dan kewajiban wanita dan pria berbeda, tapi derajatnya tetap sama bukan di atas atau di bawah yang lain. Saya lebih suka menyebut wanita adalah partner pria dan pria adalah partner wanita. Tugas kita adalah untuk bekerja sama dan saling melengkapi, bukan beradu dan menggaduh.
Awalnya manusia dilahirkan dari adam dan hawa. Dengan sifat Rahman dan Rahiim Tuhan, roh kehidupan ditiupkan. Adam adalah Rahman Sang Pengasih. Hawa adalah Rahim Sang Penyayang. Maka, tugas utama seorang lelaki adalah mengasihi/memberi dan seorang wanita adalah menyayangi. Cukup menghidupkan semangat emansipasi dengan menyayangi.
Bagaimana wanita dapat menyayangi dirinya sendiri untuk bisa berpikiran cerdas dan bermental kuat, bagaimana wanita dapat menyayangi keluarganya dengan menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dll adalah jauh lebih penting daripada mengambil semua peran dan fungsi pria agar dinilai setara. Jangan paksakan tulang rusuk yang bengkok menjadi lurus. Jangan paksakan diri menentang pria agar dinilai luar biasa. Dengan benar-benar memahami kodratnya, wanita sudah luar biasa.
Semangat emansipasi. Semangat menyayangi.
Komentar
Posting Komentar