Ada yang menarik dari bertemu dengan orang-orang baru dan melakukan sesuatu yang baru bersama mereka. Manusiawi rasanya ketika bertemu orang baru hal pertama yang kita lihat adalah penampilannya. Penampilan juga bisa mempresentasikan bagaimana seseorang menghargai dirinya dan menghargai orang yang melihatnya, tidak harus wah namun cukup rapi dan sopan. Nah, penampilan ini sering menjadi dasar bagaimana orang memperlakukan orang lain padahal jika dinilai secara bobot keseluruhan nilai manusia, mungkin hanya 10%. Kenapa? Karena penampilan mudah sekali dimanipulasi. Penampilan bukanlah identitas manusia sesungguhnya. Jadi ingat cerita sufi di Timur Tengah yang datang ke pesta dan tidak diizinkan masuk karena penampilannya yang biasa saja. Setelah pulang, beliau mengganti bajunya dan berhasil dipersilahkan masuk. Beliau mengambil makanan, membuka bajunya dan menuangkan makanan tersebut ke dalam bajunya. Semua orang terkejut dan bertanya mengapa beliau berbuat seperti itu. Beliau menjawab, 'sesungguhnya yang diundang ke pesta ini hanyalah baju saya.'
Lalu apalagi yang sering kita lihat? Inteligensi mungkin. Saya termasuk orang yang mudah sekali kagum terhadap orang-orang berwawasan luas. Orang-orang cerdas memang selalu mengagumkan dan segala sesuatu yang tidak kita ketahui memang selalu menarik untuk didengarkan. Namun sayangnya, tidak selalu mereka yang berwawasan luas menjadi mereka yang sangat dicintai. Tak jarang dengan potensi inteligensinya, mereka malah menjadi sosok yang tidak diinginkan karena membuat segalanya lebih runyam. Inteligensi ini lebih sulit dimanipulasi daripada penampilan, tetapi masih mudah untuk dinilai.
Akhirnya, nilai manusia yang utama memang dilihat dari hatinya. Namun, bagaimana kita menilai hatinya? Tentu sulit ya. Saya teringat sebuah hadits yang berkata..
Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya (lidah dan tangannya).
Tidak perlu ahli nujum untuk melihat hati seseorang. Cukup dengan hadits di atas kita dapat mengetahui nilai manusia. Lihat saja apa yang dibicarakan dan bagaimana ia membicarakannya juga bagaimana ia berlaku terhadap orang-orang di sekitarnya. Ketiga hal itu dapat menjadi indikator untuk mengetahui seberapa bernilainya seseorang, pun seberapa bernilainya diri kita sendiri. Yuk instropeksi :)
The value of a man should be seen in what he gives and not in what he is able to receive.
-Albert Einstein-
Akhirnya, nilai manusia yang utama memang dilihat dari hatinya. Namun, bagaimana kita menilai hatinya? Tentu sulit ya. Saya teringat sebuah hadits yang berkata..
Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya (lidah dan tangannya).
Tidak perlu ahli nujum untuk melihat hati seseorang. Cukup dengan hadits di atas kita dapat mengetahui nilai manusia. Lihat saja apa yang dibicarakan dan bagaimana ia membicarakannya juga bagaimana ia berlaku terhadap orang-orang di sekitarnya. Ketiga hal itu dapat menjadi indikator untuk mengetahui seberapa bernilainya seseorang, pun seberapa bernilainya diri kita sendiri. Yuk instropeksi :)
The value of a man should be seen in what he gives and not in what he is able to receive.
-Albert Einstein-
Komentar
Posting Komentar