Bali selalu mengingatkan saya akan kisah patah hati seorang teman. Ia jatuh cinta kepada sahabatnya. Sahabat yang sudah bersama pria lain. Ia tidak bisa menutupi rasa cintanya. Sahabatnya pun menyadari rasa itu. Namun, sahabatnya juga tidak mau melepas teman saya. Ia juga menyayangi teman saya, walaupun dengan rasa sayang yang berbeda. Bodohnya, teman saya tetap saja bertahan menyakiti dirinya sendiri. Sampai suatu hari, sang sahabat memberikan undangan pernikahannya. Setegar apapun teman saya berpura-pura, ia tetap saja hancur. Hatinya teriris-iris. Ia meringis. Menangis. Ia tahu saat seperti ini pasti datang, tapi rasanya tetap begitu menyakitkan. Ia remuk berkeping-keping. Jiwanya direngut paksa. Tak utuh lagi.
Dalam keperihan yang sangat, ia memutuskan untuk pergi. Naik bis ke Bali. Tiga hari. Dalam tiga hari itu ia mati. Benar-benar mati. Tak menapak lagi di bumi. Ia hidup dalam pikirannya sendiri dalam sakit hatinya. Perih! 'Mengikhlaskan tidak semudah itu,' katanya kepada saya. 'Tapi ya mau gimana lagi? Cuma bisa pasrah kan?!', lanjutnya. Saya hanya tersenyum.
Setiap kali menginjak Bali saya mengingatnya. Apalagi ketika memandangi laut lepas, saya dapat merasakan lukanya. Ikhlas. Pasrah. Ya hanya itu saja yang bisa kita lakukan ketika semua cerita harus berakhir. Hidup tetap berjalan. Ia tidak akan berhenti karena menunggu kita sembuh dari patah hati. Tinggal bagaimana dengan kita. Butuh sehari, setahun, atau selamanya untuk melanjutkan hidup. Bali tidak hanya mengingatkan tentang kisah patah hati, tetapi tentang mengikhlaskan dan memulai kembali. Bali dan patah hati sudah basi. Bali dan jatuh hati rasanya lebih manis :)
Komentar
Posting Komentar