Langsung ke konten utama

Tulisan Bernyawa

Selalu diatas melihat yang di bawah. Namun, tak bisa melihat ke atas. Di atasku masih ada atas dan atas. Hidup berjalan di bawahku. Ku keteki mereka semua dalam terang dan gelapku. Aku menaungi mereka layaknya seorang ibu menaungi anak-anaknya. Dunia berputar dengan aku sebagai atapnya. Aku selalu disini, kadang iri dengan laut di bawah sana. Ah, jangan konyol! Aku memang seharusnya disini. Biarkan laut menjadi cermin mukaku. Bahkan ia, laut itu, memantulkan nyawaku bersamanya. Biru ketika biru. Hitam ketika hitam. Aku langit.

Setiap pagi aku berputar beriringan dengan kawanku yang lain. Jakarta di pagi hari selalu melatih kesabaranku. Panas atau hujan pun aku terjang. Lama aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Betapa hidupku hanya tentang terus berputar dan berputar sampai usang. Aku lelah? Tidak. Ku buka mataku. Ku tatap ia dalam-dalam. Ia yang selalu membersamaiku. Lusuh, tapi tetap gagah. Aku dan hidupku yang berputar. Ia dan hidupnya yang tertindas. Tatapanku tiba-tiba tertangkap olehnya. Kali ini kuberanikan diri tersenyum. Ia membalasnya. Kami saling menyapa. Sudah sekian lama kami bertemu. Ini kali pertama kami saling bicara, sepotong ban dan aspal panas Jakarta.

Kedua paragraf di atas saya tulis setelah mendapat pembelajaran dari seorang teman yang juga saya anggap mentor saya. Dalam menulis sering kita rasakan bahwa tulisan kita tidak bernyawa. Saya bertanya kepada teman saya ini. Ia berkata bahwa dalam menulis apa yang ditulis selayaknya dijadikan subyek, bukan obyek. Subyek mempunyai emosi dan melakukan kerja. Emosi ini merupakan nyawa. Apa yang dituliskan menjadi subyek dan penulis hanyalah penuturnya. Penulis hanya menyampaikan ceritanya. Oleh karena itu, saya berlatih membuat apa yang saya tuliskan yang biasanya saya perlakukan sebagai obyek milik saya menjadi sebuah subyek. Izinkan saya menuliskan kembali contoh tulisan teman saya yang jauh lebih sempurna. 

Aku angin. Bersama semangat keringat mereka yang bertahan untuk sesuap nasi nanti siang. Tanpa enak yang penting halal mengganjal. Aku angin. Bersama doa mereka yang kedinginan dan berselimut iklas di hujan pagi ini. Entah malam nanti, hujan semoga mengalirkan berkah di bumi dan di langit. Aku angin. Bersama mereka yang tak bisa terlelap karena kesadarannya selalu merasa kekurangan jika tidak selalu berharap pada sang Khalik. Lidahnya tak pernah bosan memohon, itulah satu-satu keasyikannya. Aku angin. Bersama mereka yang sedang berduka karena ketidakadilan yang telah menghancurkan harapannya bagai bejana keramik jatuh. Tentang mimpi atau angan yang sederhana: ketenangan siang-malam. Di mata. Di hati. Juga di dalam darahnya. Aku ingin. Menjadi angin yang tidak masuk angin. Yang setia pada mata angin. (AF)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

20. Uncle From Penang

Hollaa.. I'm already back from holiday. Liburan kemarin saya mendatangi negara tetangga dengan bahasa melayu yang kental, Malaysia! Dulu saya sempat menempatkan negara ini di daftar hitam saya sampai-sampai saya rela tidak ikut liburan bersama geng kantor jika mereka memilih Malaysia. Ternyata kali ini sahabat saya memilih Malaysia. Saya tidak bisa melewatkan liburan bersama mereka. "Malaysia, apa salahnya?" pikir saya. Akhirnya, saya berangkat menuju Kuala Lumpur. Setelah mengeksplor KL, kami terbang ke Penang. Saya tidak begitu tertarik dengan tempatnya bahkan saya belum review ada apa saja di Penang. "Yang penting pergi sama siapa, Nis", kata teman saya.  Di Penang, kami menginap di Red Inn Hotel 39. Jujur, saya belum mereview hotelnya, hanya ikut suara terbanyak. Sahabat saya berkata bahwa hotel ini terkenal bukan karena hotelnya, tapi karena pemiliknya. Jam 2 pagi kami baru sampai hotel dan sudah gelap. Kami membunyikan bel dan menunggu seseorang kelua

Alternatif Homeschooling

Hari ini hari Senin dan hari pertama anak-anak masuk sekolah. Orang tua yang mengantar melihat anak-anak mereka berbaris untuk melaksanakan upacara. Puluhan motor dan mobil parkir di depan pagar dan bangunan sekolah. Lalu lintas menjadi sangat padat hari ini. Di tengah kemacetan, saya teringat sebuah surat kepala sekolah yang sempat viral beberapa waktu lalu. "D i tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu, ada calon seniman yang tidak perlu mengerti Matematika. Ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra. Ada calon musisi yang nilai Kimia-nya tidak berarti. Ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika. Ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini." Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita memang belum efektif merumuskan ukuran untuk mengidentifikasi bakat seorang anak dan memenuhi kebutuhan pembelajarannya. Banyak lulusan yang bingu

TRIZ

Saya percaya setiap sesuatu mempunyai pola. Dalam hal penyelesaian masalah, seorang pria Rusia bernama G.S. Altshuller mempelajari berbagai paten dari seluruh dunia untuk menemukan pola penemuan baru. Ia berpikir bahwa jika kita memahami pola penemuan dari berbagai paten yang hebat dan mempelajarinya, maka semua orang bisa menjadi inventor/penemu. Dari hasil studinya, ia memperkenalkan theory of inventing problem solving yang dinamakan TRIZ (Teorija Resenija Isobretatelskih Zadac) . Saya mendengar teori ini dari seorang Coach yang menjadi rekanan perusahaan dimana saya bekerja. Langkah-langkah penyelesaian masalah dalam TRIZ adalah sebagai berikut: Mendefinisikan masalah yang kita hadapi secara spesifik Menemukan masalah umum dalam TRIZ yang sesuai Menemukan solusi umum untuk pemecahan masalah yang sesuai tersebut Menggunakan solusi umum tersebut untuk menyelesaikan masalah spesifik yang kita hadapi Kebanyakan masalah timbul karena adanya kontradiksi. Dengan menggunaka