Langsung ke konten utama

Dosa

“Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa yang karenanya jiwa dan hati menjadi tentram. Dan dosa adalah apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR. Ahmad)

Hati  menjadi indikator benar dan salah juga kebaikan dan dosa. Pertama kali seseorang berbuat dosa pasti ia mengetahui bahwa apa yang dilakukan adalah dosa dan hatinya menjadi tidak tentram, terlepas dari siapapun ia. Namun, ketika ia terus mengulangi dosa yang sama lagi dan lagi, hatinya tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Apa yang ia rasakan sebelumnya berupa ketidaktentraman tidak lagi dapat ia rasakan. Hatinya menjadi mati rasa.

Menjaga hati agar dapat berfungsi dengan baik sebagai penyaring baik dan buruk merupakan hal yang seharusnya selalu kita upayakan. Secara naluriah, setiap hati adalah baik dan mengajak kepada kebaikan. Apa yang membedakan orang yang bersikap baik dan tidak baik adalah apakah ia mampu secara jujur mendengarkan suara hatinya atau tidak. Ketika suara hati tergantikan oleh nafsu yang mementingkan diri sendiri, maka apa yang dilakukan selalu tidak pada tempatnya.  Nafsu yag tidak baik selalu mengajak kita bersikap malas dan sewenang-wenang terhadap orang lain. Sayangnya, bagaimanapun hati seseorang menjadi mati rasa, ketidaktentraman pasti akan selalu dirasakannya, walaupun ia mempunyai segalanya; harta yang berlimpah, posisi yang tinggi, istri yang cantik, keturunan yang sukses, dll. Dalam hadits diatas, dosa pasti membuat hati tidak tentram.

Di masa sekarang ini, sulit menemukan orang yang jujur apalagi yang berani jujur terhadap dirinya sendiri. Kebanyakan orang menutupi kesalahannya dan mengacuhkan suara hatinya untuk menyelamatkan diri sendiri. Sikap seperti itu biasanya disebabkan karena rasa malu melihat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya atau malu terlihat 'salah' di mata orang lain. Rasa malu terlihat salah di mata orang lain ternyata jauh lebih menakutkan daripada kesalahan atau dosa itu sendiri. Definisi baik dan buruk,  benar dan salah, hanyalah dapat dirasakan secara jujur oleh hati kita sendiri. Definisi tersebut tidak bisa dirumuskan oleh orang lain atau peraturan apapun yang dibuat. Jawaban atas pertanyaan 'apakah saya telah berbuat dosa' hanya bisa kita dapatkan dari diri kita sendiri. 

Pertanyaan sederhana yang selalu mengundang kontroversi dan biasanya menjadi tema debat misalnya mengenai hukuman mati. Jika kita belajar debat, dua opini yang mengatakan bahwa hukuman mati diperbolehkan dan tidak tidak bisa dinilai salah atau benar. Bagaimana kita menyampaikan opini, memberikan alasan yang menguatkan dan mempertahankannya adalah apa yang dinilai. Oleh karena itu, bukan hak kita untuk menghakimi kebaikan dan dosa orang lain. Biarkan kita sibuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita sendiri juga menjaga dan mendengarkan hati kita sendiri. Semoga dosa-dosa kita dapat dihapuskan dengan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

20. Uncle From Penang

Hollaa.. I'm already back from holiday. Liburan kemarin saya mendatangi negara tetangga dengan bahasa melayu yang kental, Malaysia! Dulu saya sempat menempatkan negara ini di daftar hitam saya sampai-sampai saya rela tidak ikut liburan bersama geng kantor jika mereka memilih Malaysia. Ternyata kali ini sahabat saya memilih Malaysia. Saya tidak bisa melewatkan liburan bersama mereka. "Malaysia, apa salahnya?" pikir saya. Akhirnya, saya berangkat menuju Kuala Lumpur. Setelah mengeksplor KL, kami terbang ke Penang. Saya tidak begitu tertarik dengan tempatnya bahkan saya belum review ada apa saja di Penang. "Yang penting pergi sama siapa, Nis", kata teman saya.  Di Penang, kami menginap di Red Inn Hotel 39. Jujur, saya belum mereview hotelnya, hanya ikut suara terbanyak. Sahabat saya berkata bahwa hotel ini terkenal bukan karena hotelnya, tapi karena pemiliknya. Jam 2 pagi kami baru sampai hotel dan sudah gelap. Kami membunyikan bel dan menunggu seseorang kelua

Alternatif Homeschooling

Hari ini hari Senin dan hari pertama anak-anak masuk sekolah. Orang tua yang mengantar melihat anak-anak mereka berbaris untuk melaksanakan upacara. Puluhan motor dan mobil parkir di depan pagar dan bangunan sekolah. Lalu lintas menjadi sangat padat hari ini. Di tengah kemacetan, saya teringat sebuah surat kepala sekolah yang sempat viral beberapa waktu lalu. "D i tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu, ada calon seniman yang tidak perlu mengerti Matematika. Ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra. Ada calon musisi yang nilai Kimia-nya tidak berarti. Ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika. Ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini." Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita memang belum efektif merumuskan ukuran untuk mengidentifikasi bakat seorang anak dan memenuhi kebutuhan pembelajarannya. Banyak lulusan yang bingu

TRIZ

Saya percaya setiap sesuatu mempunyai pola. Dalam hal penyelesaian masalah, seorang pria Rusia bernama G.S. Altshuller mempelajari berbagai paten dari seluruh dunia untuk menemukan pola penemuan baru. Ia berpikir bahwa jika kita memahami pola penemuan dari berbagai paten yang hebat dan mempelajarinya, maka semua orang bisa menjadi inventor/penemu. Dari hasil studinya, ia memperkenalkan theory of inventing problem solving yang dinamakan TRIZ (Teorija Resenija Isobretatelskih Zadac) . Saya mendengar teori ini dari seorang Coach yang menjadi rekanan perusahaan dimana saya bekerja. Langkah-langkah penyelesaian masalah dalam TRIZ adalah sebagai berikut: Mendefinisikan masalah yang kita hadapi secara spesifik Menemukan masalah umum dalam TRIZ yang sesuai Menemukan solusi umum untuk pemecahan masalah yang sesuai tersebut Menggunakan solusi umum tersebut untuk menyelesaikan masalah spesifik yang kita hadapi Kebanyakan masalah timbul karena adanya kontradiksi. Dengan menggunaka