Langsung ke konten utama

Orang Pintar

Sudah lama saya tidak berdiskusi dengan ayah saya. Akhir-akhir ini saya sering mendapatinya sibuk sendiri. Mungkin sedang ada yang mengganggu pikirannya. Sampai Jumat malam, entah bagaimana mulainya kami berdiskusi lagi. Ia berkata bahwa hati sama dengan pikiran yang harus selalu diasah agar tajam. Tajamnya hati akan membuat kita dapat mendengarkan suaranya yang murni dan suci tanpa terkontaminasi subjektivitas kita sendiri. Bagaimana mengasah hati? Mengasah pikiran adalah dengan berpikir. Mengasah hati adalah dengan merasa. 

Istilah baper atau bawa perasaan sesungguhnya tidaklah tepat. Bawa perasaan sering kali disalahartikan sebagai sikap yang mudah tersinggung. Sensitif dikonotasikan dengan sikap yang negatif dan lemah. Padahal orang paling pintar adalah orang yang paling bisa merasa. Bukannya orang paling pintar itu orang yang paling bisa berpikir dan menggunakan pikirannya dengan maksimal? Orang yang paling bisa berpikir belum tentu dapat merasakan rasa orang lain sehingga membuat kebanyakan orang yang menurut kita pintar menggunakan kepintarannya untuk membodohi atau bahkan melukai orang lain. Sementara, orang yang paling bisa merasa tidak mungkin melukai orang lain karena ia bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bagaimana rasanya susah, rasanya kelaparan, rasanya ditipu dan rasa-rasa orang lain dirasakan seperti rasa dirinya sendiri. Salah satu hadits yang indah menggambarkan rasa tersebut.

“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama satu tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim]

Bayangkan jika kita melukai sedikit saja tangan kita, yang merasakan sakit tangan kita saja atau seluruh tubuh kita? Karena sakit kepala saja, seseorang bisa tidak bangun dari tempat tidurnya dan meringkuk seharian. Kepala tidak terpisah dari bagian tubuh yang lain sehingga ketika kepala sakit seluruh tubuh kita ikut merasakannya. Oleh karena itu, saya ganti pemahaman saya tentang siapa yang disebut orang pintar. Jika seseorang sudah bisa merasa apa yang dirasakan orang lain begitu dalamnya, ia tidak mungkin tega melukai orang lain. Ia pun tidak mungkin tega melukai dirinya sendiri secara fisik maupun mental. Melukai secara mental adalah dengan melakukan hal-hal yang dangkal atau rendah. Berprasangka buruk merupakan salah satu contoh yang tanpa sadar sering kita lakukan. 

Dengan definisi yang baru, orang pintar adalah orang yang bisa merasa. Jangan dibalik menjadi merasa bisa. Dua kata sederhana ini jika dibalik sungguh jauh berbeda efeknya. Definisi orang pintar selama ini adalah merasa bisa. Orang yang hanya mengandalkan pikirannya tanpa melibatkan hatinya bisa jatuh pada sikap merasa bisa atau sombong. Manusia hanyalah nutfah yang ditumpah, maka kesombongan bukanlah pakaian kita. Kesombongan hanyalah untuk Yang Maha Sempurna. Mari mengasah hati dengan bisa merasa bukan merasa bisa :)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

20. Uncle From Penang

Hollaa.. I'm already back from holiday. Liburan kemarin saya mendatangi negara tetangga dengan bahasa melayu yang kental, Malaysia! Dulu saya sempat menempatkan negara ini di daftar hitam saya sampai-sampai saya rela tidak ikut liburan bersama geng kantor jika mereka memilih Malaysia. Ternyata kali ini sahabat saya memilih Malaysia. Saya tidak bisa melewatkan liburan bersama mereka. "Malaysia, apa salahnya?" pikir saya. Akhirnya, saya berangkat menuju Kuala Lumpur. Setelah mengeksplor KL, kami terbang ke Penang. Saya tidak begitu tertarik dengan tempatnya bahkan saya belum review ada apa saja di Penang. "Yang penting pergi sama siapa, Nis", kata teman saya.  Di Penang, kami menginap di Red Inn Hotel 39. Jujur, saya belum mereview hotelnya, hanya ikut suara terbanyak. Sahabat saya berkata bahwa hotel ini terkenal bukan karena hotelnya, tapi karena pemiliknya. Jam 2 pagi kami baru sampai hotel dan sudah gelap. Kami membunyikan bel dan menunggu seseorang kelua

Alternatif Homeschooling

Hari ini hari Senin dan hari pertama anak-anak masuk sekolah. Orang tua yang mengantar melihat anak-anak mereka berbaris untuk melaksanakan upacara. Puluhan motor dan mobil parkir di depan pagar dan bangunan sekolah. Lalu lintas menjadi sangat padat hari ini. Di tengah kemacetan, saya teringat sebuah surat kepala sekolah yang sempat viral beberapa waktu lalu. "D i tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu, ada calon seniman yang tidak perlu mengerti Matematika. Ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra. Ada calon musisi yang nilai Kimia-nya tidak berarti. Ada calon olahragawan yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika. Ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini." Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita memang belum efektif merumuskan ukuran untuk mengidentifikasi bakat seorang anak dan memenuhi kebutuhan pembelajarannya. Banyak lulusan yang bingu

TRIZ

Saya percaya setiap sesuatu mempunyai pola. Dalam hal penyelesaian masalah, seorang pria Rusia bernama G.S. Altshuller mempelajari berbagai paten dari seluruh dunia untuk menemukan pola penemuan baru. Ia berpikir bahwa jika kita memahami pola penemuan dari berbagai paten yang hebat dan mempelajarinya, maka semua orang bisa menjadi inventor/penemu. Dari hasil studinya, ia memperkenalkan theory of inventing problem solving yang dinamakan TRIZ (Teorija Resenija Isobretatelskih Zadac) . Saya mendengar teori ini dari seorang Coach yang menjadi rekanan perusahaan dimana saya bekerja. Langkah-langkah penyelesaian masalah dalam TRIZ adalah sebagai berikut: Mendefinisikan masalah yang kita hadapi secara spesifik Menemukan masalah umum dalam TRIZ yang sesuai Menemukan solusi umum untuk pemecahan masalah yang sesuai tersebut Menggunakan solusi umum tersebut untuk menyelesaikan masalah spesifik yang kita hadapi Kebanyakan masalah timbul karena adanya kontradiksi. Dengan menggunaka